Laman

Jumat, 18 Oktober 2013

MEMBACA BASMALAH KETIKA MEMBACA SURAT AL FATIHAH




Oleh : Drs. Muhammad S. Bukhori Maulana


Membaca Surat Al Fatihah dalam sholat hukumnya wajib karena merupakan salah satu rukun sholat. Dalilnya adalah hadits di bawah ini :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca Surat Al Fatihah
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhori (no. 756) dan Muslim (no. 394)

Tapi dalam membaca basmalah ketika membaca Surat Al Fatihah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama mengatakan bahwa basmalah adalah salah satu ayat Surat Al Fatihah. Berdasarkan pendapat tersebut maka membaca basmalah hukumnya wajib dan kedudukannya sama dengan Surat Al Fatihah. Kalau Fatihah dibaca jahr (keras) maka membaca basmalah juga dengan jahr, dan jika dibaca sirr (pelan) maka basmalah juga harus dibaca sir.
Pendapat tersebut diikuti beberapa kelompok sahabat, tabi’in dan para imam baik dari generasi salaf maupun khalaf. Para sahabat yang mengeraskan basmallah (pada waktu membaca surat Al Fatihah dalam shalat) adalah Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Abbas dan Mu’awiyah. Ibn Abd Al Baarr dan Al Baihaqi meriwayatkan hal itu juga dari Umar (bin al Khattab) dan Ali ra. Al Khaathib juga menukil (tentang mengeraskan basmallah) dari empat khalifah yaitu Abu Bakar, Umar, Utman dan Ali, tapi riwayat itu gharib (jarang). Dan dikalangan tabi’in yang berpendapat seperti itu adalah Said bin Jubair, Ikrimah, Abi Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Hasan dan anaknya Muhammad, Said bin al Musayyab, ‘Atho, Thowus, Mujahid, Salim, Muhammad ibn Ka’ab Al Qordhi, Ubaid, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Abi Wa’il, Ibn Sirin, Muhammad bin Al Munkadir, Ali bin Abdullah dan anaknya Muhammad, Nafi bekas budak Ibn Umar, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azroq bin Qois, Habib bin Abi Tsabit, Abu Sya’tsa, Mak-hul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqrin.[1]          
Sumber yang menjadi dasar pendapat tersebut adalah hadits di bawah ini :
عَنْ نُعَيْمِ الْمُجْمِرِ قَالَ : صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ « غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ » فَقَالَ : آمِيْن، فَقَالَ النَّاسُ : آمِيْن، وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ : اَللهُ أَكْبَرُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوْسِ فِى اْلاِثْنَيْنِ قَالَ : اَللهُ أَكْبَرُ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ : وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ، إِنِّى لأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ.
Dari Nu’aim al Mujmir, ia berkata, “Aku sholat di belakang Abu Hurairah ra. Ia membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Umm al Qur’an (Al Fatihah) hingga ketika ia sampai pada (bacaan) ghoiril maghdhuubi ‘alaihim waladhdhoolliin ia mengucapkan aamiin. Para makmum juga mengucapkan aamiin. Selanjutnya ketika hendak sujud ia mengucapkan Allaahu Akbar dan ketika hendak berdiri dari duduk di rakaat kedua ia mengucapkan Allaahu Akbar. Dan ketika selesai mengucapkan salami a berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, sungguh diriku adalah orang yang paling mirip dalam hal sholat dengan sholat Rasulullah SAW”.
Hadits Hasan tersebut diriwayatkan oleh An Nasa’i (no. 901)

Dalam hadits di atas menerangkan beberapa pengertian :
1.      Abu Hurairah ra. membaca basmalah ketika membaca Surat Al Fatihah di dalam sholat.
2.      Basmalah dalam hadits tersebut dibaca jahr (keras) dilihat dari pengertian ucapan Nu’aim yang mengatakan bahwa “Abu Hurairah mengucapkan basmalah” yang berarti ia mendengarnya dan berarti pula bacaan basmalah itu dikeraskan.
3.      Sholat yang dipraktekkan Abu Hurairah pada hakikatnya adalah sholat yang dipraktekkan  Rasulullah SAW.
Pendapat di atas juga didukung oleh riwayat yang dinukil Ibn Katsir di bawah ini :
وَفِى مُسْنَدِ الإِمَامِ أَحْمَدَ وَسُنَنِ أَبِى دَاوُدَ وَصَحِيْحِ ابْنِ خُزَيْمَةَ وَمُسْتَدْرَكِ الْحَاكِمِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ قِرَاءَتَهُ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ* الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. وَقَالَ الدَّارُ قُطْنِى اسْنَادُهُ صَحِيْحٌ
  Dan dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Sunan Abi Daud, Shahih Ibn Huzaimah dan Al Mustadrak Imam Al Hakim dari Ummu Salamah ra bahwa ia berkata adalah Rasulullah saw memutus-mutus bacaannya (kemudian ia mencontohkan bacaan tersebut – pen.) yaitu :
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ* الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
Imam Al Daruqutni berkata, “Susunan sanad hadits tersebut adalah shahih”[2]

Dalam hadits tersebut Ummu Salamah – istri Nabi saw – mencontohkan bacaan surat Al Fatihah Nabi. Dalam bacaan tersebut basmalah juga dibaca. 
Sedangkan sebagian umat Islam yang menolak untuk membaca basmalah[3] menggunakan dalil di bawah ini:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ. حَدَّثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنِ اْلأَوْزَاعِيِّ. أَخْبَرَنِي إِسْحَاقُ ابْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ؛ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَذْكُرُ ذَلِكَ (صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ. فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. فِي أّوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِي آخِرِهَا)
Meriwayatkan padaku Muhammad bin Mihran, meriwayatkan padaku Al Walid bin Muslim dari Al Auza’i, mengabarkan padaku Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah, bahwa sesungguhnya ia mendengar Anas bin Malik menuturkan hal itu (Aku shalat di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai dengan bacaan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di permulaan bacaan maupun di akhirnya).[4]
Jika dilihat siapa perawi hadits itu, orang pasti akan meyakini bahwa hadits itu adalah hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam Muslim. Tapi sebagian ulama mengkritisi keshahihan hadits tersebut, antara lain DR. Subhi As-Shalih. Dia mengatakan, “Contoh idhthirab pada matan adalah hadits basmalah yang ditakhrijkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari riwayat Al-Walid bin Muslim. Ia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Al-Auza’i  dari Qatabah, yang memberitakan dari Anas bin Malik yang berkata: “Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua memulai dengan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin. Mereka tidak menyebut Bismillahirrahmanirrahim di permulaan bacaan dan tidak pula di akhirnya.
Kalimat terakhir yang disebutkan oleh perawi untuk meniadakan bacaan basmalah merupakan matan mudhtharrab dalam hadits ini. Karena, Imam Muslim dan Al-Bukhari sepakat mentakhrijkan riwayat lain mengenai topik yang sama tanpa menyebutkan basmalah, baik menetapkan atau meniadakan melainkan hanya “Mereka memulai bacaan dengan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَابَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَانُوْا يَفْتَتِحُوْنَ الصَّلاَة بـ الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ )مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Diriwayatkan dari Anas ra bahwa sesungguhnya Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka mengawali bacaan dalam shalatnya dengan bacaan الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim[5]
Maksudnya: Al-Fatihah adalah surat yang mereka (Nabi SAW dan para sahabat) gunakan untuk memulai (shalat). Seandainya persoalan terhenti pada batas ini, tentu mungkin mentarjihkan hadits yang disepakati, sehingga kita tidak menyebut hadits yang pertama mudhtharrab.
Namun, ada lagi riwayat ketiga dari Anas yang menceritakan bahwa ia ditanya tentang permulaan shalat dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia tidak hapal sedikitpun mengenai hal itu dari Rasulullah SAW. Hal ini membuat sulit mentarjihkan hadits yang berkaitan dengan basmalah, menetapkan atau meniadakan. Kesulitan tarjih merupakan sebab langsung mengapa kami mengatakan matan hadits yang pertama adalah mudhtharrab.[6]
Ketidak konsistenan (kemudhtharriban) hadits Anas di atas semakin lengkap dengan melihat keterangan Ibn Katsir di bawah ini yang menukil riwayat dari Anas juga yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah, sebagaimana berikut :
   وَفِى صَحِيْحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكْ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ قِرَاءَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ قِرَاءَتُهُ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ يَمُدُّ بِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ الرَّخْمنِ وَيَمُدُّ الرَّحِيْمِ.
Dan dalam kitab Shohih al Bukhori dari Anas bin Malik ra bahwa sesungguhnya ia ditanya tentanga bacaan Nabi saw kemudian ia menjawab, “Adalah bacaan Nabi itu panjang” kemudian ia membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ  sambil memanjangkan بِسْمِ اللهِ dan memanjangkan الرَّحْمنِ serta memanjangka الرَّحِيْمِ.[7]
Berdasarkan keterangan di atas hadits tersebut dianggap mudhtharrib, yaitu hadits yang tidak konsisten sanad atau matannya. Dalam contoh di atas adalah tidak konsisten dari segi matannya.
Dalam ilmu hadits-hadits mudhtharrib termasuk hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum.



[1] Abu al Fidaa al Haafidh ibn Katsiir al Dimasyqi , Tafsir Al Qur’an Al Adhiim,jilid I,  Beirut Daar Al Fikr, 1992M/, 1412H, h: 26
[2][2]Abu al Fidaa al Haafidh ibn Katsiir al Dimasyqi , Tafsir Al Qur’an Al Adhiim,jilid I,Ibid
[3] Di antara alasan sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa basmalah  tidak perlu dibaca pada waktu membaca surat Al Fatihah adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, salah seorang penganut mazhab Maliki, sebagai mana berikut :
                “Sesungguhnya madzhab kami mengunggulkan pendapat tersebut (basmalah bukan termasuk dalam surat Al Fatihah dan tidak perlu disebut ketika membacanya) dengan sudut pandang yang lebih baik dan rasional (ma’qul). Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa di masjid Nabawi di Madinah selama berabad-abad, dari zaman ke zaman, tahun ke tahun, sejak zaman Rasulullah Saw sampai zaman Imam Malik (bin Anas) tidak ada satupun orang yang membaca basmalah (ketika membaca surat Al Fatihah) karena mengikuti sunnah Rasulullah Saw”
                Secara sepintas keterangan Ibnu Arabi tersebut meyakinkan kepada kita bahwa seluruh penduduk Madinah sejak zaman Nabi Muhammad Saw tidak pernah membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah. Sudah barang tentu apa yang mereka lakukan dianggap sepengetahuan Nabi dan mencontoh apa yang dilakukan Nabi Saw, sehingga timbul ijtihad bahwa membaca basmalah  dalam surat Al Fatihah (baik ketika shalat maupun tidak) adalah perbuatan yang bertentangan dengan sunnah Nabi Saw. (lihat Muhammad Ali Ash Shobuni, Rawaa’i al Bayaan Tafsiir Aayaat al Ahkaam min Al Qur’an, jilid I, Beirut, Daar Al Fikr, tt, h:50)
                Benarkah pendapat Ibnu Arabi tersebut ? Pendapat tersebut perlu ditelaah dan dipertimbangkan lagi berdasarkan riwayat dibawah ini :
                “Dan Imam Ad Darruquthni – dengan isnad (susunan para perawi) yang shohih dan Imam Abu Abdillah As-Syafi’i serta Imam Al-Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Bahwa sesungguhnya Muawiyah melaksanakan sholat di Madinah, kemudian (Pada waktu membaca Al Fatihah) ia tidak membaca basmalah. Para sahabat Muhajirin yang menjadi makmum pada waktu itu mengingkarinya. Maka ketika Muawiyah mengulangi lagi sholatnya ia membaca basmalah. (Tafsir Ibnu Katsir, I,hal : 26).
                Keterangan tersebut adalah riwayat shohih yang diriwayatkan oleh tiga ulama ahli hadits besar yang salah satunya digelari Amirul Mukminin fil Hadits yaitu Imam Ad Daruquthni.
                Dengan riwayat tersebut maka anggapan yang menyatakan bahwa seluruh penduduk Madinah sejak zaman Nabi Nuhammad SAW sampai zaman Imam Malik (bahkan sampai zaman sekarang) tidak pernah membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah adalah keterangan yang tidak mutlak kebenarannya.

[4] Hadits Shahih riwayat Imam Muslim (No. 399) dalam Bab Argumentasi Orang yang Berpendapat Tidak Menjaharkan Basmalah (13)
[5]Muhammad bin Ismail Al Amir Al Yamani As Shonani, Subul al Salam, Kairo Daar Al Hadits, 2004 M/1425 H, h:248  
[6] DR. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (alih bahasa oleh Tim Pustaka Firdaus, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2002, Cetakan Kelima, h: 178-179
[7]Abu al Fidaa al Haafidh ibn Katsiir al Dimasyqi , Tafsir Al Qur’an Al Adhiim, h: 26  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar