Oleh
: Drs. Muhammad S. Bukhori Maulana
Membaca Surat Al Fatihah dalam sholat hukumnya wajib karena
merupakan salah satu rukun sholat. Dalilnya adalah hadits di bawah ini :
لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca Surat Al
Fatihah
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhori (no. 756) dan
Muslim (no. 394)
Tapi dalam membaca basmalah ketika membaca Surat Al
Fatihah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama mengatakan bahwa basmalah adalah salah satu
ayat Surat Al Fatihah. Berdasarkan pendapat tersebut maka membaca basmalah
hukumnya wajib dan kedudukannya sama dengan Surat Al Fatihah. Kalau Fatihah
dibaca jahr (keras) maka membaca basmalah juga dengan jahr, dan
jika dibaca sirr (pelan) maka basmalah juga harus dibaca sir.
Pendapat tersebut diikuti beberapa kelompok sahabat, tabi’in
dan para imam baik dari generasi salaf maupun khalaf. Para sahabat yang
mengeraskan basmallah (pada waktu membaca surat Al Fatihah dalam shalat)
adalah Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Abbas dan Mu’awiyah. Ibn Abd Al Baarr dan Al
Baihaqi meriwayatkan hal itu juga dari Umar (bin al Khattab) dan Ali ra. Al
Khaathib juga menukil (tentang mengeraskan basmallah) dari empat khalifah yaitu
Abu Bakar, Umar, Utman dan Ali, tapi riwayat itu gharib (jarang). Dan
dikalangan tabi’in yang berpendapat seperti itu adalah Said bin Jubair,
Ikrimah, Abi Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Hasan dan anaknya Muhammad, Said bin
al Musayyab, ‘Atho, Thowus, Mujahid, Salim, Muhammad ibn Ka’ab Al Qordhi,
Ubaid, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Abi Wa’il, Ibn Sirin, Muhammad
bin Al Munkadir, Ali bin Abdullah dan anaknya Muhammad, Nafi bekas budak Ibn
Umar, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azroq bin Qois, Habib bin Abi
Tsabit, Abu Sya’tsa, Mak-hul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqrin.[1]
Sumber yang menjadi dasar pendapat tersebut adalah hadits di
bawah ini :
عَنْ نُعَيْمِ الْمُجْمِرِ قَالَ :
صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ
« غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ » فَقَالَ
: آمِيْن، فَقَالَ النَّاسُ : آمِيْن، وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ : اَللهُ
أَكْبَرُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوْسِ فِى اْلاِثْنَيْنِ قَالَ : اَللهُ
أَكْبَرُ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ : وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ، إِنِّى
لأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ.
Dari Nu’aim al Mujmir, ia berkata, “Aku sholat di belakang
Abu Hurairah ra. Ia membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Umm al
Qur’an (Al Fatihah) hingga ketika ia sampai pada (bacaan) ghoiril maghdhuubi
‘alaihim waladhdhoolliin ia mengucapkan aamiin. Para makmum juga mengucapkan
aamiin. Selanjutnya ketika hendak sujud ia mengucapkan Allaahu Akbar dan ketika
hendak berdiri dari duduk di rakaat kedua ia mengucapkan Allaahu Akbar. Dan
ketika selesai mengucapkan salami a berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada
dalam kekuasaanNya, sungguh diriku adalah orang yang paling mirip dalam hal
sholat dengan sholat Rasulullah SAW”.
Hadits Hasan tersebut diriwayatkan oleh An Nasa’i (no. 901)
Dalam hadits di atas menerangkan beberapa pengertian :
1.
Abu Hurairah ra. membaca basmalah
ketika membaca Surat Al Fatihah di dalam sholat.
2.
Basmalah dalam hadits tersebut
dibaca jahr (keras) dilihat dari pengertian ucapan Nu’aim yang
mengatakan bahwa “Abu Hurairah mengucapkan basmalah” yang berarti
ia mendengarnya dan berarti pula bacaan basmalah itu dikeraskan.
3.
Sholat yang dipraktekkan Abu
Hurairah pada hakikatnya adalah sholat yang dipraktekkan Rasulullah SAW.
Pendapat di atas juga didukung oleh riwayat yang dinukil Ibn
Katsir di bawah ini :
وَفِى مُسْنَدِ الإِمَامِ أَحْمَدَ
وَسُنَنِ أَبِى دَاوُدَ وَصَحِيْحِ ابْنِ خُزَيْمَةَ وَمُسْتَدْرَكِ الْحَاكِمِ
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ قِرَاءَتَهُ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ * الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ* الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ *
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. وَقَالَ الدَّارُ قُطْنِى اسْنَادُهُ صَحِيْحٌ
Dan dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Sunan
Abi Daud, Shahih Ibn Huzaimah dan Al Mustadrak Imam Al
Hakim dari Ummu Salamah ra bahwa ia berkata adalah Rasulullah saw
memutus-mutus bacaannya (kemudian ia mencontohkan bacaan tersebut – pen.) yaitu
:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
* الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ* الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * مَالِكِ يَوْمِ
الدِّيْنِ
Imam Al Daruqutni berkata, “Susunan sanad hadits tersebut
adalah shahih”[2]
Dalam hadits tersebut Ummu Salamah – istri Nabi saw –
mencontohkan bacaan surat Al Fatihah Nabi. Dalam bacaan tersebut basmalah juga
dibaca.
Sedangkan sebagian umat Islam yang menolak untuk membaca basmalah[3]
menggunakan dalil di bawah ini:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ.
حَدَّثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنِ اْلأَوْزَاعِيِّ. أَخْبَرَنِي
إِسْحَاقُ ابْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ؛ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ يَذْكُرُ ذَلِكَ (صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ. فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ
بِالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيْمِ. فِي أّوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِي آخِرِهَا)
Meriwayatkan padaku Muhammad bin Mihran, meriwayatkan padaku
Al Walid bin Muslim dari Al Auza’i, mengabarkan padaku Ishaq bin Abdillah bin
Abi Thalhah, bahwa sesungguhnya ia mendengar Anas bin Malik menuturkan hal itu
(Aku shalat di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai
dengan bacaan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin tidak menyebut
bismillahirrahmanirrahim di permulaan bacaan maupun di akhirnya).[4]
Jika dilihat siapa perawi hadits itu, orang pasti akan
meyakini bahwa hadits itu adalah hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam
Muslim. Tapi sebagian ulama mengkritisi keshahihan hadits tersebut, antara lain
DR. Subhi As-Shalih. Dia mengatakan, “Contoh idhthirab pada matan
adalah hadits basmalah yang ditakhrijkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya
dari riwayat Al-Walid bin Muslim. Ia berkata: Diceritakan kepadaku oleh
Al-Auza’i dari Qatabah, yang memberitakan dari Anas bin Malik yang
berkata: “Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar,
Umar, dan Utsman. Mereka semua memulai dengan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Mereka tidak menyebut Bismillahirrahmanirrahim di permulaan bacaan dan
tidak pula di akhirnya.
Kalimat terakhir yang disebutkan oleh perawi untuk
meniadakan bacaan basmalah merupakan matan mudhtharrab dalam
hadits ini. Karena, Imam Muslim dan Al-Bukhari sepakat mentakhrijkan riwayat
lain mengenai topik yang sama tanpa menyebutkan basmalah, baik
menetapkan atau meniadakan melainkan hanya “Mereka memulai bacaan dengan Alhamdu
lillahi Rabbil ‘alamin.
Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَابَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ كَانُوْا يَفْتَتِحُوْنَ الصَّلاَة بـ الْحَمْدُِللهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ )مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Diriwayatkan dari Anas ra bahwa sesungguhnya Nabi
saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka mengawali bacaan dalam shalatnya dengan
bacaan الْحَمْدُِللهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim[5]
Maksudnya: Al-Fatihah adalah surat yang mereka (Nabi SAW dan
para sahabat) gunakan untuk memulai (shalat). Seandainya persoalan terhenti
pada batas ini, tentu mungkin mentarjihkan hadits yang disepakati, sehingga
kita tidak menyebut hadits yang pertama mudhtharrab.
Namun, ada lagi riwayat ketiga dari Anas yang menceritakan
bahwa ia ditanya tentang permulaan shalat dengan basmalah. Ia menjawab
bahwa ia tidak hapal sedikitpun mengenai hal itu dari Rasulullah SAW. Hal ini
membuat sulit mentarjihkan hadits yang berkaitan dengan basmalah,
menetapkan atau meniadakan. Kesulitan tarjih merupakan sebab langsung mengapa
kami mengatakan matan hadits yang pertama adalah mudhtharrab.[6]
Ketidak konsistenan (kemudhtharriban) hadits Anas di
atas semakin lengkap dengan melihat keterangan Ibn Katsir di bawah ini yang
menukil riwayat dari Anas juga yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad membaca basmalah
ketika membaca surat Al Fatihah, sebagaimana berikut :
وَفِى صَحِيْحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكْ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ قِرَاءَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ قِرَاءَتُهُ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ يَمُدُّ بِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ الرَّخْمنِ وَيَمُدُّ
الرَّحِيْمِ.
Dan
dalam kitab Shohih al Bukhori dari Anas bin Malik ra bahwa
sesungguhnya ia ditanya tentanga bacaan Nabi saw kemudian ia menjawab, “Adalah
bacaan Nabi itu panjang” kemudian ia membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ sambil
memanjangkan بِسْمِ
اللهِ dan memanjangkan الرَّحْمنِ
serta memanjangka الرَّحِيْمِ.[7]
Berdasarkan keterangan di atas hadits tersebut dianggap mudhtharrib,
yaitu hadits yang tidak konsisten sanad atau matannya. Dalam contoh di atas
adalah tidak konsisten dari segi matannya.
Dalam ilmu hadits-hadits mudhtharrib termasuk hadits
dha’if yang tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum.
[1] Abu al
Fidaa al Haafidh ibn Katsiir al Dimasyqi , Tafsir Al Qur’an Al Adhiim,jilid
I, Beirut Daar Al Fikr, 1992M/, 1412H, h: 26
[3] Di antara alasan sebagian umat Islam
yang berpendapat bahwa basmalah tidak perlu dibaca pada waktu
membaca surat Al Fatihah adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi,
salah seorang penganut mazhab Maliki, sebagai mana berikut :
“Sesungguhnya madzhab kami mengunggulkan pendapat tersebut (basmalah
bukan termasuk dalam surat Al Fatihah dan tidak perlu disebut ketika
membacanya) dengan sudut pandang yang lebih baik dan rasional (ma’qul). Hal itu
didasarkan pada kenyataan bahwa di masjid Nabawi di Madinah selama
berabad-abad, dari zaman ke zaman, tahun ke tahun, sejak zaman Rasulullah Saw
sampai zaman Imam Malik (bin Anas) tidak ada satupun orang yang membaca basmalah
(ketika membaca surat Al Fatihah) karena mengikuti sunnah Rasulullah Saw”
Secara sepintas keterangan Ibnu Arabi tersebut meyakinkan kepada kita bahwa
seluruh penduduk Madinah sejak zaman Nabi Muhammad Saw tidak pernah membaca basmalah
ketika membaca surat Al Fatihah. Sudah barang tentu apa yang mereka lakukan
dianggap sepengetahuan Nabi dan mencontoh apa yang dilakukan Nabi Saw, sehingga
timbul ijtihad bahwa membaca basmalah dalam surat Al Fatihah (baik
ketika shalat maupun tidak) adalah perbuatan yang bertentangan dengan sunnah
Nabi Saw. (lihat Muhammad Ali Ash Shobuni, Rawaa’i al Bayaan Tafsiir Aayaat
al Ahkaam min Al Qur’an, jilid I, Beirut, Daar Al Fikr, tt, h:50)
Benarkah pendapat Ibnu Arabi tersebut ? Pendapat tersebut perlu ditelaah dan
dipertimbangkan lagi berdasarkan riwayat dibawah ini :
“Dan Imam Ad Darruquthni – dengan isnad
(susunan para perawi) yang shohih dan Imam Abu Abdillah As-Syafi’i serta Imam
Al-Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Bahwa
sesungguhnya Muawiyah melaksanakan sholat di Madinah, kemudian (Pada waktu
membaca Al Fatihah) ia tidak membaca basmalah. Para sahabat Muhajirin
yang menjadi makmum pada waktu itu mengingkarinya. Maka ketika Muawiyah
mengulangi lagi sholatnya ia membaca basmalah. (Tafsir Ibnu Katsir,
I,hal : 26).
Keterangan tersebut adalah riwayat shohih yang diriwayatkan oleh tiga ulama
ahli hadits besar yang salah satunya digelari Amirul Mukminin fil
Hadits yaitu Imam Ad Daruquthni.
Dengan riwayat tersebut maka
anggapan yang menyatakan bahwa seluruh penduduk Madinah sejak zaman Nabi
Nuhammad SAW sampai zaman Imam Malik (bahkan sampai zaman sekarang) tidak
pernah membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah adalah
keterangan yang tidak mutlak kebenarannya.
[4] Hadits
Shahih riwayat Imam Muslim (No. 399) dalam Bab Argumentasi Orang yang
Berpendapat Tidak Menjaharkan Basmalah (13)
[5]Muhammad
bin Ismail Al Amir Al Yamani As Shonani, Subul al Salam, Kairo Daar Al
Hadits, 2004 M/1425 H, h:248
[6] DR. Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (alih bahasa oleh Tim Pustaka
Firdaus, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2002, Cetakan Kelima, h: 178-179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar