Laman

Minggu, 27 Oktober 2013

Hadits riwayat Ibnu mas’ud yang melarang dzikir berjamaah adalah dhaif






Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
berikut penjelasan mengenai riwayat Ibn mas;ud ra yg mereka jadikan dalil sebagai larangan dzikir berjamaah :
al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Shahihah, jld. 5, m.s. 11.
Yaitu :
Daripada ‘Amr bin Salamah katanya: “Satu ketika kami duduk di pintu ‘Abd Allah bin Mas‘ud sebelum solat subuh. Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang kepada kami Abu Musa al-Asy‘ari, lalu bertanya: “Apakah Abu ‘Abd al-Rahman telah keluar kepada kamu?” Kami jawab: “Tidak!”. Maka dia duduk bersama kami sehingga ‘Abd Allah bin Mas‘ud keluar. Apabila dia keluar, kami semua bangun kepadanya.
Lalu Abu Musa al-Asy‘ari berkata kepadanya: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku tidak lihat – alhamdulilah – melainkan ianya baik”. Dia bertanya: “Apakah ia?”. Kata Abu Musa: “Jika umur kamu panjang engkau akan melihatnya. Aku melihat satu puak, mereka duduk dalam lingkungan (halaqah) menunggu solat. Bagi setiap lingkungan (halaqah) ada seorang lelaki (ketua kumpulan), sementara di tangan mereka yang lain ada anak-anak batu. Apabila lelaki itu berkata : Takbir seratus kali, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata: Tahlil seratus kali, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata: Tasbih seratus kali, mereka pun bertasbih seratus kali.” Tanya ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Apa yang telah kau katakan kepada mereka?”. Jawabnya: “Aku tidak kata kepada mereka apa-apa kerana menanti pandangan dan perintahmu”.

Berkata ‘Abd Allah bin Mas‘ud: “Mengapa engkau tidak menyuruh mereka mengira dosa mereka dan engkau jaminkan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun”. Lalu dia berjalan, kami pun berjalan bersamanya. Sehinggalah dia tiba kepada salah satu daripada lingkungan berkenaan. Dia berdiri lantas berkata: “Apa yang aku lihat kamu sedang lakukan ini?” Jawab mereka: “Wahai Abu ‘Abd al-Rahman! Batu yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”. Jawabnya: “Hitunglah dosa-dosa kamu, aku jamin pahala-pahala kamu tidak hilang sedikit pun. Celaka kamu wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih lagi ramai, baju baginda belum lagi buruk dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya , apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad, atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”
Jawab mereka : “Demi Allah wahai Abu ‘Abd al-Rahman, kami hanya bertujuan baik.” Jawabnya : “Betapa ramai yang bertujuan baik, tetapi tidak menepatinya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami satu kaum yang membaca al-Quran namun tidak lebih dari kerongkong mereka Demi Allah aku tidak tahu, barangkali kebanyakan mereka dari kalangan kamu.” Kemudian beliau pergi.
Berkata ‘Amr bin Salamah: “Kami melihat kebanyakan puak tersebut bersama Khawarij memerangi kami pada hari Nahrawan.”

jawaban :
Hujjah yang dikemukakan ini, adalah atsar (perbuatan) Abdullah bin Mas`ud r.a.. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daarimi dalam sunannya, jilid 1 halaman 68, dengan sanad dari al-Hakam bin al-Mubarak dari ‘Amr bin Yahya dari ayahnya dari datuknya (Amr bin Salamah).
Menurut sebagian muhadditsin, kecacatan atsar ini adalah pada rawinya (rawi : periwayat) yang bernama ‘Amr bin Yahya (yakni cucu Amr bin Salamah). Imam Yahya bin Ma`in memandang “riwayat daripadanya tidak mempunyai nilai”. Imam adz-Dzahabi menerangkannya dalam kalangan rawi yang lemah dan tidak diterima riwayatnya, dan Imam al-Haithami menyatakan bahwa dia adalah rawi yang dhoif. 

Dalam Atsar tersebut dapat dipahami bahwa yang ditegur oleh Sayyidina Ibnu Mas`ud adalah golongan KHAWARIJ. Maka atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud lebih kepada kritikan beliau kepada para pelaku yang tergolong dalam firqah Khawarij. Di mana golongan Khawarij memang terkenal dengan kuat beribadah, kuat sholat, kuat berpuasa, kuat membaca al-Quran, banyak berzikir sehingga mereka merasakan diri mereka lebih baik daripada para sahabat Junjungan s.a.w. Maka kritikan Sayyidina Ibnu Mas`ud ini ditujukan kepada kelompok Khawarij yang mereka itu mengabaikan bahkan mengkafirkan para sahabat karena beranggapan ibadah mereka lebih hebat dari para sahabat.
Sehingga janganlah digunakan atsar yang ditujukan kepada kaum Khawarij ini digunakan terhadap saudara muslim lain yang sangat memuliakan para sahabat Junjungan Nabi s.a.w.
Jangan dikira para ulama Aswaja tidak tahu mengenai atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud ini.
Imam as-Sayuthi rhm. pada “Natiijatul Fikri fil Jahri fidz Dzikri” dalam “al-Hawi lil Fatawi” juz 1. Di situ Imam asy-Sayuthi menguraikan 25 hadits dan atsar yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhan hingga yang diriwayatkan oleh al-Mirwazi berkaitan dengan zikir secara jahar dan majlis zikir berjamaah.

Sedangkan terhadap atsar Ibnu Mas`ud tersebut, Imam asy-Sayuthi pada halaman 394 menyatakan, antara lain:
(Jika engkau berkata) Telah dinukilkan yang Sayyidina Ibnu Mas`ud telah melihat satu kaum bertahlil dengan mengangkat suara dalam masjid, lalu beliau berkata: “Tidak aku melihat kamu melainkan (sebagai) pembuat bid`ah”, sehingga dikeluarkannya mereka dari masjid tersebut. (Kataku – yakni jawaban Imam as-Sayuthi) Atsar daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. ini memerlukan penjelasan lanjut berhubung sanadnya dan siapa yang telah mengeluarkannya dari kalangan para hafidz dalam kitab-kitab mereka.
Jika seandainya dikatakan ianya memang tsabit (kuat riwayatnya), maka atsar ini bertentangan dengan hadits-hadits yang banyak lagi tsabit yang telah dikemukakan yang semestinya didahulukan (sebagai pegangan) dibanding atsar Ibnu Mas`ud apabila terjadi pertentangan (apalagi atsar itu dhoif sebagaimana dijelaskan bahwa rawinya dhoif) . Kemudian, aku lihat apa yang dianggap sebagai keingkaran Sayyidina Ibnu Mas`ud itu (yakni keingkarannya terhadap majlis-majlis zikir bersama-sama tadi) yakni penjelasan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “az-Zuhd” yang menyatakan:- Telah memberitahu kami Husain bin Muhammad daripada al-Mas`udi daripada ‘Aamir bin Syaqiiq daripada Abu Waail berkata:- “Mereka-mereka mendakwa ‘Abdullah (yakni Ibnu Mas`ud) mencegah daripada berzikir (dalam majlis-majlis zikir), padahal ‘Abdullah tidak duduk dalam sesuatu majlis melainkan dia berzikirullah dalam majlis tersebut.”

Dalam kitab yang sama, Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Tsabit al-Bunani berkata:- “Bahwasanya ahli dzikrullah yang duduk mereka itu dalam sesuatu majlis untuk berdzikrullah, jika ada bagi mereka dosa-dosa semisal gunung, niscaya mereka bangkit dari (majlis) dzikrullah tersebut dalam keadaan tidak tersisa sesuatupun dosa tadi pada mereka”, (yakni setelah berzikir, mereka memperolehi keampunan Allah ta`ala).

melarang dzikir dg suara keras di masjid hukumnya kufur, karena menentang Alqur’an, Allah swt berfirman : Dirumah rumah Allah (masjid) telah Allah izinkan untuk mengangkat suara sebutan dzikir Nama Nya, dan bertasbih pada Nya di pagi hari dan sore (QS Annur 36).

Allah swt berfirman : Mereka yg ringan timbangan pahalanya maka mereka adalah orang yg merugikan dirinya sendiri dan mereka selamanya di neraka, wajah mereka hangus terbakar dan kedua bibirnya menjulur (kesakitan dan kepanasan), bukanlah sudah dibacakan pada kalian ayat ayat Ku dan kalian mendustakannya?, maka mereka berkata : Wahai Tuhan kami, kami telah tertundukkan oleh kejahatan kami dan kami telah tergolong kaum yg sesat, Wahai Tuhan Kami keluarkan kami dari neraka dan jika kami kembali berbuat jahat maka kami mengakui kami orang yg dhalim, (maka Allah menjawab) : Diamlah kalian didalam neraka dan jangan kalian berbicara lagi, dahulu ada sekelompok hamba hamba Ku yg berdoa : Wahai Tuhan Kami kami beriman, maka ampuni dosa dosa kami, dan kasihanilah kami dan Sunguh Engkau Maha Berkasih sayang dari semua yg berkasih sayang, namun kalian mengejek mereka sampai kalian melupakan dzikir pada Ku dan kalian menertawakan mereka, Sungguh Aku membalas kebaikan mereka saat ini dan merekalah orang yg beruntung (QS Al Mukminun 103 – 111)

lihatlah ayat diatas sdrku, Allah swt murka pada mereka yg mengecoh dan mengejek dan menertawakan orang yg berdzikir bersama, lihat ucapan doa para ahlu dzikir itu, Allah menjelaskan mereka berkata : Wahai Tuhan kami, kami beriman maka ampunilah kami… dst.
ucapan KAMI menunjukkan mereka berdoa bersama, bukan sendiri sendiri.
Allah menjelaskan merekalah yg beruntung, dan yg mengejek mereka akan dihinakan Allah swt.
Kita Ahlussunnah waljamaah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama.
Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman : “BILA IA (HAMBAKU) MENYEBUT NAMAKU DALAM DIRINYA, MAKA AKU MENGINGATNYA DALAM DIRIKU, BILA MEREKA MENYEBUT NAMAKU DALAM KELOMPOK BESAR, MAKA AKUPUN MENYEBUT (membanggakan) NAMA MEREKA DALAM KELOMPOK YG LEBIH BESAR DAN LEBIH MULIA”. (Shahihain Bukhari dan Muslim).

Allah berfirman :
“DAN SABARKAN DIRIMU UNTUK TETAP BERSAMA ORANG ORANG YG BERDZIKIR DAN BERDOA KEPADA TUHAN MEREKA DI PAGI HARI DAN SORE SEMATA MATA HANYA MENGINGINKAN RIDHA ALLAH, DAN JANGAN KAU PALINGKAN WAJAHMU DARI MEREKA KARENA MENGHENDAKI KEDUNIAWIAN, DAN JANGAN TAATI ORANG ORANG YG KAMI BUAT MEREKA LUPA DARI MENGINGAT KAMI………….” (QSAl Kahfi 28)
Berkata Imam Attabari : “Tenangkan dirimu wahai Muhammad bersama sahabat sahabatmu yg duduk berdzikir dan berdoa kepada Allah di pagi hari dan sore hari, mereka dengan bertasbih, tahmid, tahlil, doa doa dan amal amal shalih dengan shalat wajib dan lainnya, yg mereka itu hanya menginginkan ridho Allah swt bukan menginginkan keduniawian” (Tafsir Imam Attabari Juz 15 hal 234)
Tentunya ucapan diatas menyangkal pendapat yg mengatakan bahwa yg dimaksud ayat itu adalah orang yg shalat, karena mustahil pula Allah mengatakan pada nabi saw untuk sabar duduk dg orang yg shalat berjamaah, karena shalat adalah fardhu, namun perintah “duduk bersabar” disini tentunya adalah dalam hal hal yg mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang.
Dari Abdurrahman bin sahl ra, bahwa ayat ini turun sedang Nabi saw sedang di salah satu rumahnya, maka beliau saw keluar dan menemukan sebuah kelompok yg sedang berdzikir kepada Allah swt dari kaum dhuafa, maka beliau saw duduk bersama berkata seraya berkata : Alhamdulillah… yg telah menjadikan pada ummatku yg aku diperintahkan untuk bersabar dan duduk bersama mereka” riwayat Imam Tabrani dan periwayatnya shahih (Majmu’ zawaid Juz 7 hal 21)

Sabda Rasulullah saw : “akan tahu nanti dihari kiamat siapakah ahlulkaram (orang orang mulia)”, maka para sahabat bertanya : siapakah mereka wahai rasulullah?, Rasul saw menjawab : :”majelis majelis dzikir di masjid masjid” (Shahih Ibn Hibban hadits no.816)
Rasulullah saw bila selesai dari shalatnya berucap Astaghfirullah 3X lalu berdoa Allahumma antassalam, wa minkassalaam….dst” (Shahih muslim hadits no.591,592)
Kudengar Rasulullah saw bila selesai shalat membaca : Laa ilaaha illallahu wahdahu Laa syariikalah, lahulmulku wa lahulhamdu…dst dan membaca Allahumma Laa Maani’a limaa a’thaiyt, wala mu’thiy…dst” (shahih Muslim hadits no.593)

Hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.808, dan masih banyak puluhan hadits shahih yg menjelaskan bahwa Rasul saw berdzikir selepas shalat dengan suara keras, sahabat mendengarnya dan mengikutinya, hal ini sudah dijalankan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, lalu tabi’in dan para Imam dan Muhadditsin tak ada yg menentangnya.
Sabda Rasulullah saw : “sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “darimana kalian?” mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu,
Maka Allah bertanya : “Apa yg mereka minta?”,
Malaikat berkata : mereka meminta sorga,
Allah berkata : apakah mereka telah melihat sorgaku?,
Malaikat menjawab : tidak,
Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya”.
Malaikat berkata : pastilah mereka akan lebih memintanya,
Allah bertanya lagi : Apa yg mereka minta?
Malaikat berkata : mereka meminta perlindungan Mu,
Allah berkata : “mereka meminta perlindungan dari apa?”,
Malaikat berkata : “dari Api neraka”,
Allah berkata : “apakah mereka telah melihat nerakaku?”,
Malaikat menjawab tidak,
Allah berkata : Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku.
Malaikat berkata :: Pasti mereka akan lebih ketakutan.
Allah swt berfirman : Apa yg mereka lakukan?
Malaikat berkata : mereka beristighfar pada Mu,
Allah berkata : “sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, Malaikat berkata : “wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka,
Allah berkata : baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka” (shahih Muslim hadits no.2689),
perhatikan ucapan Allah yg diakhir hadits qudsiy diatas : dan mereka (ahlu dzikir) adalah “kaum yg tak dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka”, lalu hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.6045.
kasihanilah mereka itu sdrku, mereka tak faham alqur’an dan hadits dengan benar, namun berfatwa semaunya, semoga Allah swt melimpahkan hidayah
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam

Rabu, 23 Oktober 2013

shalawat nariyyah

Penjelasan Habibana Munzir tentang Shalawat Nariyyah

Berkata Habibana :

Saudaraku yg kumuliakan,
Shalawat Nariyah tidak ada dari isinya yg bertentangan dg syariah, makna kalimat : yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta”, adalah kiasan, bahwa beliau saw pembawa Alqur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yg dg itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah swt, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul
khatimah dan sorga,

ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah arab dari cinta, sebagaimana pujian Abbas bin
Abdulmuttalib ra kepada Nabi saw dihadapan beliau saw : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”
(Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yg terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkitan risalah.

Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)

semua orang yg mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka
langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid,

mengenai kalimat diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, adalah cermin dari bertawassul pada
beliau saw para sahabat sebagaimana riwayat shahih Bukhari.

--
mengenai bacaan 4444X atau lainnya itu adalah ucapan sebagian ulama, tidak wajib dipercayai dan
tidak ada larangan untuk mengamalkannya,--

shalawat ini bukan berasal dari Rasul saw, namun siapapun boleh membuat shalawat atas nabi
saw, sayyidina Abubakar shiddiq ra membuat shalawat atas nabi saw, Sayyidina Ali bin abi thalib kw membuat shalawat, juga para Imam dan Muhadditsin, shalawat Imam Nawawi, Shalawat Imam Shazili, dan banyak lagi, bahkan banyak para muhadditsin yg membuat maulid, bukan hanya shalawat.--

 

Jumat, 18 Oktober 2013

MEMBACA BASMALAH KETIKA MEMBACA SURAT AL FATIHAH




Oleh : Drs. Muhammad S. Bukhori Maulana


Membaca Surat Al Fatihah dalam sholat hukumnya wajib karena merupakan salah satu rukun sholat. Dalilnya adalah hadits di bawah ini :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca Surat Al Fatihah
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhori (no. 756) dan Muslim (no. 394)

Tapi dalam membaca basmalah ketika membaca Surat Al Fatihah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama mengatakan bahwa basmalah adalah salah satu ayat Surat Al Fatihah. Berdasarkan pendapat tersebut maka membaca basmalah hukumnya wajib dan kedudukannya sama dengan Surat Al Fatihah. Kalau Fatihah dibaca jahr (keras) maka membaca basmalah juga dengan jahr, dan jika dibaca sirr (pelan) maka basmalah juga harus dibaca sir.
Pendapat tersebut diikuti beberapa kelompok sahabat, tabi’in dan para imam baik dari generasi salaf maupun khalaf. Para sahabat yang mengeraskan basmallah (pada waktu membaca surat Al Fatihah dalam shalat) adalah Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Abbas dan Mu’awiyah. Ibn Abd Al Baarr dan Al Baihaqi meriwayatkan hal itu juga dari Umar (bin al Khattab) dan Ali ra. Al Khaathib juga menukil (tentang mengeraskan basmallah) dari empat khalifah yaitu Abu Bakar, Umar, Utman dan Ali, tapi riwayat itu gharib (jarang). Dan dikalangan tabi’in yang berpendapat seperti itu adalah Said bin Jubair, Ikrimah, Abi Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Hasan dan anaknya Muhammad, Said bin al Musayyab, ‘Atho, Thowus, Mujahid, Salim, Muhammad ibn Ka’ab Al Qordhi, Ubaid, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Abi Wa’il, Ibn Sirin, Muhammad bin Al Munkadir, Ali bin Abdullah dan anaknya Muhammad, Nafi bekas budak Ibn Umar, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azroq bin Qois, Habib bin Abi Tsabit, Abu Sya’tsa, Mak-hul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqrin.[1]          
Sumber yang menjadi dasar pendapat tersebut adalah hadits di bawah ini :
عَنْ نُعَيْمِ الْمُجْمِرِ قَالَ : صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ « غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ » فَقَالَ : آمِيْن، فَقَالَ النَّاسُ : آمِيْن، وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ : اَللهُ أَكْبَرُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوْسِ فِى اْلاِثْنَيْنِ قَالَ : اَللهُ أَكْبَرُ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ : وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ، إِنِّى لأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ.
Dari Nu’aim al Mujmir, ia berkata, “Aku sholat di belakang Abu Hurairah ra. Ia membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Umm al Qur’an (Al Fatihah) hingga ketika ia sampai pada (bacaan) ghoiril maghdhuubi ‘alaihim waladhdhoolliin ia mengucapkan aamiin. Para makmum juga mengucapkan aamiin. Selanjutnya ketika hendak sujud ia mengucapkan Allaahu Akbar dan ketika hendak berdiri dari duduk di rakaat kedua ia mengucapkan Allaahu Akbar. Dan ketika selesai mengucapkan salami a berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, sungguh diriku adalah orang yang paling mirip dalam hal sholat dengan sholat Rasulullah SAW”.
Hadits Hasan tersebut diriwayatkan oleh An Nasa’i (no. 901)

Dalam hadits di atas menerangkan beberapa pengertian :
1.      Abu Hurairah ra. membaca basmalah ketika membaca Surat Al Fatihah di dalam sholat.
2.      Basmalah dalam hadits tersebut dibaca jahr (keras) dilihat dari pengertian ucapan Nu’aim yang mengatakan bahwa “Abu Hurairah mengucapkan basmalah” yang berarti ia mendengarnya dan berarti pula bacaan basmalah itu dikeraskan.
3.      Sholat yang dipraktekkan Abu Hurairah pada hakikatnya adalah sholat yang dipraktekkan  Rasulullah SAW.
Pendapat di atas juga didukung oleh riwayat yang dinukil Ibn Katsir di bawah ini :
وَفِى مُسْنَدِ الإِمَامِ أَحْمَدَ وَسُنَنِ أَبِى دَاوُدَ وَصَحِيْحِ ابْنِ خُزَيْمَةَ وَمُسْتَدْرَكِ الْحَاكِمِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ قِرَاءَتَهُ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ* الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. وَقَالَ الدَّارُ قُطْنِى اسْنَادُهُ صَحِيْحٌ
  Dan dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Sunan Abi Daud, Shahih Ibn Huzaimah dan Al Mustadrak Imam Al Hakim dari Ummu Salamah ra bahwa ia berkata adalah Rasulullah saw memutus-mutus bacaannya (kemudian ia mencontohkan bacaan tersebut – pen.) yaitu :
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ* الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ * مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
Imam Al Daruqutni berkata, “Susunan sanad hadits tersebut adalah shahih”[2]

Dalam hadits tersebut Ummu Salamah – istri Nabi saw – mencontohkan bacaan surat Al Fatihah Nabi. Dalam bacaan tersebut basmalah juga dibaca. 
Sedangkan sebagian umat Islam yang menolak untuk membaca basmalah[3] menggunakan dalil di bawah ini:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ. حَدَّثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنِ اْلأَوْزَاعِيِّ. أَخْبَرَنِي إِسْحَاقُ ابْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ؛ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَذْكُرُ ذَلِكَ (صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ. فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. فِي أّوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِي آخِرِهَا)
Meriwayatkan padaku Muhammad bin Mihran, meriwayatkan padaku Al Walid bin Muslim dari Al Auza’i, mengabarkan padaku Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah, bahwa sesungguhnya ia mendengar Anas bin Malik menuturkan hal itu (Aku shalat di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai dengan bacaan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di permulaan bacaan maupun di akhirnya).[4]
Jika dilihat siapa perawi hadits itu, orang pasti akan meyakini bahwa hadits itu adalah hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam Muslim. Tapi sebagian ulama mengkritisi keshahihan hadits tersebut, antara lain DR. Subhi As-Shalih. Dia mengatakan, “Contoh idhthirab pada matan adalah hadits basmalah yang ditakhrijkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari riwayat Al-Walid bin Muslim. Ia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Al-Auza’i  dari Qatabah, yang memberitakan dari Anas bin Malik yang berkata: “Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua memulai dengan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin. Mereka tidak menyebut Bismillahirrahmanirrahim di permulaan bacaan dan tidak pula di akhirnya.
Kalimat terakhir yang disebutkan oleh perawi untuk meniadakan bacaan basmalah merupakan matan mudhtharrab dalam hadits ini. Karena, Imam Muslim dan Al-Bukhari sepakat mentakhrijkan riwayat lain mengenai topik yang sama tanpa menyebutkan basmalah, baik menetapkan atau meniadakan melainkan hanya “Mereka memulai bacaan dengan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَابَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَانُوْا يَفْتَتِحُوْنَ الصَّلاَة بـ الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ )مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ(
Diriwayatkan dari Anas ra bahwa sesungguhnya Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka mengawali bacaan dalam shalatnya dengan bacaan الْحَمْدُِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim[5]
Maksudnya: Al-Fatihah adalah surat yang mereka (Nabi SAW dan para sahabat) gunakan untuk memulai (shalat). Seandainya persoalan terhenti pada batas ini, tentu mungkin mentarjihkan hadits yang disepakati, sehingga kita tidak menyebut hadits yang pertama mudhtharrab.
Namun, ada lagi riwayat ketiga dari Anas yang menceritakan bahwa ia ditanya tentang permulaan shalat dengan basmalah. Ia menjawab bahwa ia tidak hapal sedikitpun mengenai hal itu dari Rasulullah SAW. Hal ini membuat sulit mentarjihkan hadits yang berkaitan dengan basmalah, menetapkan atau meniadakan. Kesulitan tarjih merupakan sebab langsung mengapa kami mengatakan matan hadits yang pertama adalah mudhtharrab.[6]
Ketidak konsistenan (kemudhtharriban) hadits Anas di atas semakin lengkap dengan melihat keterangan Ibn Katsir di bawah ini yang menukil riwayat dari Anas juga yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah, sebagaimana berikut :
   وَفِى صَحِيْحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكْ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ قِرَاءَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ قِرَاءَتُهُ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ يَمُدُّ بِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ الرَّخْمنِ وَيَمُدُّ الرَّحِيْمِ.
Dan dalam kitab Shohih al Bukhori dari Anas bin Malik ra bahwa sesungguhnya ia ditanya tentanga bacaan Nabi saw kemudian ia menjawab, “Adalah bacaan Nabi itu panjang” kemudian ia membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ  sambil memanjangkan بِسْمِ اللهِ dan memanjangkan الرَّحْمنِ serta memanjangka الرَّحِيْمِ.[7]
Berdasarkan keterangan di atas hadits tersebut dianggap mudhtharrib, yaitu hadits yang tidak konsisten sanad atau matannya. Dalam contoh di atas adalah tidak konsisten dari segi matannya.
Dalam ilmu hadits-hadits mudhtharrib termasuk hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum.



[1] Abu al Fidaa al Haafidh ibn Katsiir al Dimasyqi , Tafsir Al Qur’an Al Adhiim,jilid I,  Beirut Daar Al Fikr, 1992M/, 1412H, h: 26
[2][2]Abu al Fidaa al Haafidh ibn Katsiir al Dimasyqi , Tafsir Al Qur’an Al Adhiim,jilid I,Ibid
[3] Di antara alasan sebagian umat Islam yang berpendapat bahwa basmalah  tidak perlu dibaca pada waktu membaca surat Al Fatihah adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, salah seorang penganut mazhab Maliki, sebagai mana berikut :
                “Sesungguhnya madzhab kami mengunggulkan pendapat tersebut (basmalah bukan termasuk dalam surat Al Fatihah dan tidak perlu disebut ketika membacanya) dengan sudut pandang yang lebih baik dan rasional (ma’qul). Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa di masjid Nabawi di Madinah selama berabad-abad, dari zaman ke zaman, tahun ke tahun, sejak zaman Rasulullah Saw sampai zaman Imam Malik (bin Anas) tidak ada satupun orang yang membaca basmalah (ketika membaca surat Al Fatihah) karena mengikuti sunnah Rasulullah Saw”
                Secara sepintas keterangan Ibnu Arabi tersebut meyakinkan kepada kita bahwa seluruh penduduk Madinah sejak zaman Nabi Muhammad Saw tidak pernah membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah. Sudah barang tentu apa yang mereka lakukan dianggap sepengetahuan Nabi dan mencontoh apa yang dilakukan Nabi Saw, sehingga timbul ijtihad bahwa membaca basmalah  dalam surat Al Fatihah (baik ketika shalat maupun tidak) adalah perbuatan yang bertentangan dengan sunnah Nabi Saw. (lihat Muhammad Ali Ash Shobuni, Rawaa’i al Bayaan Tafsiir Aayaat al Ahkaam min Al Qur’an, jilid I, Beirut, Daar Al Fikr, tt, h:50)
                Benarkah pendapat Ibnu Arabi tersebut ? Pendapat tersebut perlu ditelaah dan dipertimbangkan lagi berdasarkan riwayat dibawah ini :
                “Dan Imam Ad Darruquthni – dengan isnad (susunan para perawi) yang shohih dan Imam Abu Abdillah As-Syafi’i serta Imam Al-Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Bahwa sesungguhnya Muawiyah melaksanakan sholat di Madinah, kemudian (Pada waktu membaca Al Fatihah) ia tidak membaca basmalah. Para sahabat Muhajirin yang menjadi makmum pada waktu itu mengingkarinya. Maka ketika Muawiyah mengulangi lagi sholatnya ia membaca basmalah. (Tafsir Ibnu Katsir, I,hal : 26).
                Keterangan tersebut adalah riwayat shohih yang diriwayatkan oleh tiga ulama ahli hadits besar yang salah satunya digelari Amirul Mukminin fil Hadits yaitu Imam Ad Daruquthni.
                Dengan riwayat tersebut maka anggapan yang menyatakan bahwa seluruh penduduk Madinah sejak zaman Nabi Nuhammad SAW sampai zaman Imam Malik (bahkan sampai zaman sekarang) tidak pernah membaca basmalah ketika membaca surat Al Fatihah adalah keterangan yang tidak mutlak kebenarannya.

[4] Hadits Shahih riwayat Imam Muslim (No. 399) dalam Bab Argumentasi Orang yang Berpendapat Tidak Menjaharkan Basmalah (13)
[5]Muhammad bin Ismail Al Amir Al Yamani As Shonani, Subul al Salam, Kairo Daar Al Hadits, 2004 M/1425 H, h:248  
[6] DR. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (alih bahasa oleh Tim Pustaka Firdaus, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2002, Cetakan Kelima, h: 178-179
[7]Abu al Fidaa al Haafidh ibn Katsiir al Dimasyqi , Tafsir Al Qur’an Al Adhiim, h: 26